Kau, Pulanglah..


~ Sengaja aku membelinya hanya sepotong, karena separuhnya kusisakan untuk kau bawa ke kampung. Kudengar bisikmu pada mbok tetangga, kamu akan pulang dengan tangan hampa, dan artinya simbok tak punya kenangan apapun darimu. Hanya sedikit jejak tanpa bekas.

~ Jangan purnakan aku dari tugasku. Selagi kau merantau, ijinkan aku berdiam di bilikmu. Menunggu simbok menghitung pergimu. Dari halaman seluas ini, manakah yang kau sisakan untukku?

~ Kampung sepi saat ini. Semua memilih pergi. Eksodus ke barat. Sumber air tumpah ruah disana. Aku bisa apa? Simbok berkeras hati. Kupandang-pandang langit barat. Kupikir disana tak akan ada tanah merekah. Kering..

~ Kangmas, simbok mulai sering meracau. Tak jelas makna. Wacana kau akan pulang menguap begitu saja. Berbilang hari suratmu tak diantar carik dusun. Sudah kubilang. Mana ada yang mau bertahan di dusun mati seperti ini. Hanya aku juga simbok. Mereka bilang kami gila,Mas..

~ Ini bulan yang terakhir. Hari yang terakhir bagi kami berkeras disini. Jika esok matahari menggantang tinggi tak jua kau nampak, jangan salahkan kami jika kami tak lagi dapat kau jumpai. Mungkin kami mengikuti jejak carik dusun. Pergi ke arah angin barat bertiup. Sungguh tak menipu, kangmas. Janjimu sirna, menguap seiring pula jejakmu lekas.

~ Seorang wanita awal dua puluhan dengan wanita tua, menuju barat dengan barang seadanya.

Komentar