Munakahat


~ Jangan pakai lampion, nanti? Jangan pula pakai lilin. Aku lebih suka temaram, karena lewat temaram aku bisa bebas pandang paras yang mengajakku retas jalan bernama pernikahan.

~ Bukan sekali dua kali ini kau bilang begitu, hingga yang kesekian aku merasakan canda saja. Bukan hal yang harus digugu hingga tak tidur semalam suntuk. Berkali itu pula aku bilang IYA.

~ Bagaimana jalan menuju pernikahan? Katanya berliku pun berbatu, tak ada indah yang didongengkan Ibu-Ibu pada pesta waktu itu. Bohong saja mereka. Tapi walaupun berbatu tetap saja bersama berdua. Tak adalah yang susah.

~ Ini bukan kisah negeri tanpa petaka. Selalu indah bagai disyurga. Mana ada jalan ke syurga tanpa onak derita? Tapi adakah perih jika bersama? Bagaimana pula tausiyah itu dapat kubuktikan kebenarannya.

~ Menjelang kedatangannya juga keluarganya. Aku harus bilang apa???

~ Candakah ini? Atau aku tak sedang bermimpi?

~ Nanti tak usah pakai ritus tetek bengek segala! Yang penting sederhana, khidmat! Aku tak mau ada syirik, nanti dikutuk musyrik! Usai perjanjian maka tunai aku bagimu. Sesederhana itukah?

~ Ah, candamu kelewatan. Mana mau sesepuh kau bantah. Walau aku ribut, tapi diam-diam kuiyakan saja rencanamu. Rencana kita.


~ Menunggu ...


~ Pernikahan. Bagiku cuma sekali. Ritus sakral. Mitsaqan Ghalidza. Kusampaikan jika nanti duduk bersanding. Janjiku tunai bagimu.

Komentar